08 Agustus, 2009

Menghilangkan 'Aku' menghadirkan Tuhan


Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.

Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?

Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?

Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).


Apa kaitannya dengan individualisme?

Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya munculkan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.


Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?

Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?

Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak. Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?

Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)? Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri.

Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satuobjek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.

Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kacamata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”

Maksudnya? Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk. Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan.

Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.

Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.

Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri. (Ahmad Samantho [ay_samantho@yahoo.com], In parapemikir@yahoogroups. Com.)

http://yudhiapatriana.blogspot.com/
_______________________________________________________________

Tanggapan & Komentar terhadap Catatan Ahmad Samantho di atas :

Nidlol Masyhud wrote:
Pertanyaan serius untuk para pendukung filsafat perenial aliran wihdatul wujud, ittihad, dan wujud mutlak seperti Pak Bagir ini,serta aliran-aliran seperguruan lainnya yang sama-sama parakonsisten: Ketika aku dihilangkan, apa logikanya sehingga aku itu digantikan oleh “Aku”? Mengapa yang menggantikannya bukan “syetan” atau “tetangga”? Segini dulu.. Salam, Nidlol.
______________________________________________________________
Tuesday, September 16, 2008, 1:33 AM Johnson Derry wrote:
Dear all, Mistikus dan spiritualis tak gampang dibedah oleh filsuf. Yang disebut terakhir akan paham jika ia mengalami pengalaman kedua yang disebut pertama. Salam dan Hormat, Johnson
_______________________________________________________________
Ahmad Samantho wrote:
Akhi Nidhol, Anda belum paham apa yang dipahami ustadz Muhammad Bagir. Apakah setan itu secara hakiki benar-benar “Ada” (Eksis)? Bukankah tiada Yang Ada selain Tuhan Allah. “Kemana pun kamu hadapkan wajahmu, maka yang akan terlihat hanyalah wajah Allah.” (terj. Al Qur’an), “Semua selain-Nya adalah fana, yang baqo (Abadi) hanyalah Wajah Tuhan Rabb-mu Dzul Jalali wal Ikrom…” (Terjm. Al-Qur’an). Kalau Antum belum kenal siapa hakikat diri Antum sendiri, maka Antum tak akan kenal Siapa Tuhanmu (”Man arofa nafsahu fa qad arofa Rabbahu.”). Semua di sisa umur Antum, Antum akan dapat menemukan kembali jalan pulang ke asalmu (dan asal kita semua: Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun).
_______________________________________________________________
Tuesday, September 16, 2008, 9:39 PM Nidlol Masyhud wrote:
Pak Ahmad, Dengan logika itu, yang disebut sebagai Ustadz Muhammad Bagir itu juga tidak benar-benar ada.. Yang disebut milis ‘parapemikir’ itu juga sebenarnya tidak ada.. Moderatornya yang disebut Mas Iman Alexander itu juga tidak ada.. Saya dan Anda juga tidak ada.. Pokoknya semua selain Tuhan itu tidak ada. Sesuatu yang tidak ada, kok bisa ya berkata2.. Sesuatu yang tidak ada, apa gunanya dikenali? Statemen “man ‘arofa nafsahu, ‘arofa rabbahu” dalam logika wihdatul wujud ini, akan otomatis berubah menjadi: “man ‘arofa laa syai’ fa qod arofa rabballaa syai’” (”siapa yang telahmengenal nothing, berarti telah mengenal tuhannya nothing”). Sebuah statemen yang sangat absurd, tidak masuk akal, tidak masuk jiwa, tidak masuk hati, dan tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. BTW, tejemahan yang betul untuk ayat di Al-Baqorah tersebut adalah: “Kemanapun engkau menghadap, maka di situlah kiblat Allah” (versi penafsiran Imam Asy-Syafi’i dll)
atau:
“Kemanapun engkau menghadap, maka di arah itulah wajah Allah” (versi penafsiran Imam Ath-Thabari dll) Sedangkan versi penafsiran yang Bapak sebutkan, saya belum menjumpai imam otoritatifnya.
_____________________________________________________________
Ahmad Samantho wrote:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Akhi Nidhol Mashyud, Ana memahami kenapa Antum masih punya pemahamanseperti itu, yang belum sepaham dengan Ustadz Muhammad Bagir. Karena Antum alumni universitas Al-Azhar Mesir, maka disiplin ilmu keislaman yang Antum kuasai dan pahami mungkin dominan paham fiqhiyahnya atau kalam (teologi), dibanding falsafah atau tasawuf (irfan/islamic mysticism).
Pengertian “Ada” yang saya pakai Antum juga masih salah paham.Baiklah ijinkanlah saya menjelaskannya, semoga Antum mendapat hidayah Allah untuk dapat memahaminya.

Tuhan Allah, menurut para hukama wal arifin (filosof dan para sufi,seperti Ibnu A’rabi, Jalaluddin Rumi, dan Mulla Sadra), adalah Wajibal-Wujud (Wujud Mutlak=“Ada Mutlak” = “Absolute Existence”), Yang keber-ADA-an-Nya, tidak disebabkan oleh ksistensi (ada-ada) yang lain. Dia ‘Ada’ dengan sendirinya, Huwal awwalu waalakhiru, dzahiru wal batinu.

Sedangkan yang selain Allah adalah makhluk ciptaan Allah, yang keberadaannya tidaklah mutlak (mumkin al wujud), karena keberadaannya hanyalah mungkin bisa ada karena disebabkan oleh ‘ADA’ yang Mutlak (Absolute Existence), yaitu Allah SWT. Maka secara hakiki (Haqiqat) yang sebenarnya ADA (EXISTENCE) itu hanyalah Allah SWT saja. Yang lainnya hanya bisa ada atau mungkin ada kalau Tuhan Allah SWT menciptakannya dan mengadakannya. Silahkan kaji ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dan lebih mendalam, dengan menggunakan kacamata (epistemologi dan ontologi) yang lebih besar dan lebih jernih dan fokus ketika menerawang hal-hal yang detil dan lebih complex.

Bahkan keberdaan Antum dengan segala kondisinya saat ini, itupun tak lepas dari Causa Prima: Wajib al Wujud (Allah SWT), dan Antum, sebagaimana saya dan semua keberadaan lainnya, hanyalah tajaliyat (manifestasi dan refleksi/cerminan) dari Wajib al Wujud (Tuhan Allah SWT). Inilah yang dimaksud dengan “Wahdatul Wujud”. Alam semesta, kata ustadz Quraisy Shibab, Ahli tafsir Qur’an, hanyalah merupaka alamat atau tanda-tanda (addres) yang akan menyingkap dan menujukkan Realitas Al-Alim, Tuhan Yang Maha Mengetahui, Maha ber-Ilmu. Antum kan sudah tahu term Alam, Ilmu dan Alamat, masdarnya sama, yang terdiri dari huruf Alif, Lam, Mim.

Inilah pemahaman Tauhidi dari para Hukama wal ‘Arifin, terhadap asas pokok Islam dan asas pokok alam semesta: Wahdatul Wujud / Wihdatul Wujud atau “Ketuhanan Yang Maha Esa” (dalam bahasa Pancasila). konsekuensinya selain daripada Allah, hanyalah merupakan mumkinul wujud (contingent existence/contingent being) yang tergantung keberadaannya hanya pada Allah SWT. Kalau Allah yang berhekendak mengadakannya, maka ia tidak ada. Dari Wujud Yang Wahid / Ahad diciptakan keberadaan makhluk-makhluk dan alam semesta, yang beragam jenis, bentuk dan manifestasinya (pluralitas berasal dari unitas dan akan kembali kepada Yang Esa.

Inilah makna “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Inilah makna “Bhineka Tunggal Ika”.
Realitas yang beraneka ragam (plural) yang tak terhitung jumlah species dan genus (jenisnya), namun semuanya merefleksikan suatu REALITAS TUNGGAL (Wahdah al-Wujud): yaitu Allah SWT.
Sementara sampai sini dulu diskusinya, insya-Allah, kalau Antum berkenan dan Allah SWT mengijinkan, kita lanjutkan diskusi dan proses pembelajaran kita ya Akhina, yang sama- sama merindukan Tuhan Allah.

Wallahu ‘Alam bi Shawab, Akhuka al-faqir fillah: Ahmad Samantho

_____________________________________________________________
Wednesday, September 17, 2008 9:12 PM
Pak Ahmad yth,
Saya menghargai niat, usaha, dan semangat Antum untuk membela aqidah dan keyakinan yang memang antum anut.. apalagi Antum juga belum melihat ketidakcocokannya dengan akal sehat dan ajaran agama. Tapi marilah kita telaah masalah ini secara lebih jernih dan terarah, serta detail dan obyektif. saya melihat, dalam komentar di bawah ini, Antum mencampurkan antara dua hal yang sama sekali berbeda.

Dalam paparan di bawah, Antum menmbawakan konsep dualitas ‘wajibul wujud’ (entitas niscaya) dan ‘mumkinul wujud’ (entitas kontigen) serta ketergantungan mumkinul wujud terhadap wajibul wujud. Saya heran, ini sama sekali bukan konsep khas aliran wahdatul wujud. Ini justru adalah konsepnya para teolog mutakallimin dan para filsuf paripatetik. Ini adalah konsepnya Mu’tazilah, Jahmiyyah, Kullabiyyah, Asy’ariyyah, Karramiyyah, dan Salimiyyah. Serta (meskipn dalam format yang berbeda) juga merupakan konsepsinya Al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Abhury, dan Al-Urmuwy. Jadi sama sekali bukan konsep khas para penganjur wahdatul wujud dan pentheisme.

Antum juga perlu membedakan antara ‘wajibul wujud’ dengan ‘al-wujud al-mutlak’. Yang pertama berarti ‘entitas niscaya’ yag ada dengan sendirinya. Sedangkan yang kedua berarti ‘keberadaan’ itu sendiri yang tidak mengandung atribut apapun selain atribut-atribut negasional dan atribut-atribut relasional. Baik Ibnu Sina cs maupun Ibu Arobi cs, Tuhan itu “al-wujud al-mutlak”. Tapi bagi Ibnu Sina cs, Tuhan itu wujud mutlak yang “bisyarthil ithlaq” (tak terspesifikasi). Sedangkan bagi Ibnu Arobi cs, Tuhan itu mujud mutlak yang “bighairi syarthil ithlak” (menspesifikasi). Bagi Ibnu Aroby, Spesifikai wujud mutlak ini merata pada semua entitas di alam (baik yang wajibul wujyud maupun yang mumkinul wujud), sehingga konsepnya pun disebut “al-ittihad al-’aam”. Sementara bagi Husein Al-Hallaj, spesifikasi ini terjadi secara personal pada pribadi-pribadi tertentu (termasuk dirinya), sehigga konsepnya pun disebut “al-huluul al-khaash”.

Jadi pagi aliran Wahdatul Wujud, Tuhan itu ‘properti’, dan bukan ‘entitas’. Tuhan itu bagi mereka adalah ‘wujud’ dan bukannya ‘maujud’. Lalu lebih dari itu, Ibnu Arobi juga menganggap bahwa entitas-entitas ini pada hakekatnya satu. Sehingga baginya, Nabi Ibrahim bukan bermimpi menyembelih putra beliau, Ismail (alaihimassalam), akan tetapi menyembelih dirinya sendiri. Dan baginya, Nabi Adam (alaihissalam) itu juga tidak menikahi Hawa yang merupakan orang lai, melainkan menikahi dirinya sendiri. Baginya, Fir’aun (la’natullaahi ‘alaih) itu bukan orang kafir, tapi orang mukmin yang sudah mencapai derajat hakekat.. sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Musa (alaihissalam). Inilah konsepsi-konsepsi sejati wahdatul wujud, sebagaimana yang jelas tertera dalam buku-buku induk para penanjurnya, semisal bukunya Ibnu Arobi yang disebutnya ‘Fushushul Hikam’ dan bukunya Sahruwardi yang disebutnya ‘Hikmatul Isyraq’..

Sehingga, dalam wahdatul wujud, tidak ada lagi dualitas “hamba” dan “tuhan”, apalagi “muslim” dan “kafir”. maka tidak heran, kalau mengawini keledai adalah sepadan dengan shalat di mushalla. Dalam konsepsi sophis ini, tidak ada lagi jeda antara ‘kausa’ dan ‘efek’, apalagi antara ‘penurun hukum’ dan ‘pelaksana hukum’.

Apalagi kalau yang kita bincang adalah konsepsi wahdatul wujud ekstrim ala At-Tilmisani dan Ibnu Sab’in cs. Wah, malah lebih gak karu2an..

Demikian. Kalau poin-poin ini jelas dan bisa dicerna, silakan dikomentari.. dan kita akan lanjutkan pada beberapa poin berikutnya.

Salam hangat,
Nidhol Ms.


_______________________________________________
*)Bersambung dimailing list parapemikir@yahoogroups.com
http://yudhiapatriana.blogspot.com/

"Filsuf Underground" dan Harapanya pada "Kaum Underground"


Profesor Doktor Bambang Sugiharto (52) oleh kawan-kawannya dijuluki sebagai ”filsuf underground”. Doktor filsafat yang lulus ”summa cum laude” dari Universitas San Tomasso, Roma, Italia, itu bukan hanya gemar musik rock, tetapi juga dekat dengan komunitas ”underground” Bandung. Di tengah situasi bangsa yang tengah bingung dan korup, Bambang melihat harapan pada kaum ”underground” itu.



”Mau minum apa? Mau whisky cola?” kata Bambang menawari minuman pada kami saat bertandang ke ruang kerjanya di Fakultas Filsafat, Universitas Parahyangan (Unpar), Jalan Nias, Bandung, pada suatu sore yang sejuk awal Maret lalu.

”Saya suka strong taste (rasa berani),” kata Bambang yang dikukuhkan sebagai guru besar ilmu filsafat di Unpar pada 16 Desember 2006.

”Sebagai intelektual de facto, saya masih menikmati musik rock. Saya suka Korn, Limp Bizkit, Linkin Park he-he…. Untuk mood tertentu saya masih dengerin itu semua,” kata Pembantu Dekan I di Fakultas Filsafat Unpar.

Apa sebenarnya yang tengah dialami bangsa ini tampaknya ada semacam kebingungan?

Ini kompleks. Saya melihat salah satu sisi masyarakat Indonesia sekarang baru terbangun dalam menyadari hak-haknya, tetapi mereka berbenturan dengan sistem yang tak berjalan baik. Birokrasi yang macet dan etos kerja yang begitu rendah. Mereka berhadapan dengan sistem yang tidak efektif untuk mengelola bangunnya kesadaran atas hak-hak itu. Eksesnya, mereka menjadi over-sensitif terhadap perlakuan sewenang-wenang.

Sensitivitas berlebihan itu terungkap dalam anarkisme. Itu cerminan dari kebingungan dalam mengungkapkan hak, otonomi, dan kekuasaan. Kalau saya lihat di televisi, setiap hari pasti ada kekacauan, demo. Entah itu akibat penggusuran, PHK, atau ketidakpuasan lain.

Bagaimana peran tradisi atau agama?

Sistem atau pola perilaku baku yang mengendalikan perilaku atau etos kerja itu pun sedang bubrah. Sistem pola baku, entah itu dari tradisi dan agama, kini berhadapan dengan kemungkinan penawaran baru. Akibatnya, pola lama menjadi tidak lagi berwibawa sebagai pegangan. Itu menambah kebingungan.

Korupsi itu bagian kebingungan? Termasuk wakil rakyat sampai jaksa?

Hmm... tiba-tiba juga kita sedang terbuka dalam menikmati hidup, menikmati komoditas. Kalau saya lihat di mal saya bertanya bagaimana mereka bisa membiayai beli mainan yang sebenarnya mahal. Saya suka terheran-heran karena situasi ekonomi sulit, tetapi dunia konsumsi meledak.

Itu menunjukkan pesona komoditas. Orang yang sudah capai miskin mencari comfort (kenyamanan) supaya bisa mencicipi material. Bagi mereka yang punya akses kekuasaan politik atau finansial yang lebih besar, segera masuk ke wilayah itu dengan membabi buta yang mengakibatkan korupsi dan segala macam itu.

Apa sebenarnya yang berada di balik budaya korupsi?

Yang lebih mendasar adalah kesulitan untuk konsisten dan berkomitmen. Korupsi dalam berbagai bentuk itu bukan hanya soal uang, tetapi juga perilaku dan kiblat nilai. Kita sulit sekali konsisten dalam kesetiaan, dalam berkomitmen, dalam religi dan kiblat nilai.

Anarki

Sehari-hari Bambang mengendarai Kymco, sepeda motor bebek otomatis untuk mengajar di Fakultas Filsafat Unpar di Jalan Nias. Tetapi, dia juga mengajar di Program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB dan FSRD Maranatha. Kadang dalam sehari ia harus wira-wiri ke tiga kampus itu. Karena Bandung macet, demi efektivitas waktu Bambang memilih motor. Mobil hanya digunakan untuk akhir pekan bersama keluarga.

”Saat naik motor saya alami betapa mudah saya menjadi bagian dari anarki. Godaan menjadi anarkis itu luar biasa. Saya berpikir, motor adalah kekuasaan paling sederhana yang dimiliki masyarakat bawah. Dengan motor, mereka memiliki excitement dan kekuasaan. Mereka sikat trotoar, terabas lampu merah. Situasi jalanan itu persis situasi birokrasi yang parah. Saya pikir itu juga ada kaitannya dengan sistem yang tidak jalan.”

Apakah itu masalah ketidakmampuan mengorganisasi segala sesuatu?

Ini masalah ketidakmampuan mengorganisasi diri yang parah. Membenahi angkot saja tak jalan sampai puluhan tahun. Ketidakmampuan, bahkan untuk satu hal yang sederhana, itu sesuatu yang mengerikan. Sementara sistem yang sudah ada tidak jalan. Ketika kohesi kelompok menjadi sangat mengendur hal itu menjadi semakin kacau karena yang terjadi adalah survival of the fittest. Yang penting gue dulu selamat.

Apa sebenarnya di balik anarkisme itu?

Pada tataran politik saya kira kita sudah lama berada dalam situasi keterjajahan yang parah. Pada masa Orde Lama, Orde Baru kita terus terjajah. Dalam situasi seperti itu, mau tak mau kekuasaan menjadi menarik. Bukan karena orang bisa menguasai orang lain, tetapi karena kekuasaan adalah privilege, hak istimewa, bukan tanggung jawab.

Yang tertanam selama ini adalah atmosfer tertindas dan menindas sehingga dalam setiap pilkada semua orang ingin menjadi gubernur, bupati, bahkan presiden. Ada fenomena tragis waktu caleg, yaitu orang menjual apa pun dengan harapan akan kembali sekian kali lipat. Bahwa itu akses pada kekayaan dan kenyamanan. Saya kira itu motivasi sederhana bagi orang untuk memasuki kekuasaan.

Saya sulit sekali menemukan orang yang bisa saya yakini masuk ke dalam kekuasaan untuk bisa bertanggung jawab, untuk mengubah realitas.

Apakah kita tak punya kultur berorganisasi?

Saya curiga, itu bukan karena ketidakmampuan berorganisasi. Dalam sistem kerajaan organisasi itu mestinya jalan. Dalam Orde Baru kehidupan masyarakat sangat well organized—terorganisasi dengan sangat baik—sampai tingkat RT, RW. Ada posyandu di desa-desa dan semuanya jalan. Itu yang saya kagumi pada zaman Soeharto, yaitu kemampuan membuat struktur yang dahsyat sekali. Meskipun, tentu saja, ada kelemahan.

Sistem yang top down, dari atas ke bawah?

Ya, sistem top down itu menjadi struktur untuk membungkam aspirasi dari bawah. Itu seperti struktur dalam negara sosialis.

Kita lihat yang terjadi sekarang, ketika orang ingin mengungkapkan aspirasi, strukturnya yang menjadi hancur. Ada atmosfer tidak percaya pada struktur.

Krisis identitas

Dalam situasi bingung dan kacau, Bambang melihat gejala krisis identitas. Orang kehilangan identitas dan bingung mencari pegangan.

”Intelektual merakit sendiri identitas mereka. Mereka tak andalkan kategori baku, seperti agama, suku, atau ideologi. Mereka menjumput dari apa pun. Mereka bangun identitas sendiri dengan bertualang atau mencampuradukkan apa pun.”

Bagaimana nasib kelompok yang belum terdidik?

Masyarakat yang kurang terdidik, yang kemampuan kritisnya kurang berkembang, mengalami gerak sentripetal. Mereka kembali ke sistem-sistem harfiah. Pada agama itu bisa disebut fundamentalisme atau apa pun. Itu bisa masuk dalam sistem agama atau etnik.

Gerakan ideologisasi identitas seperti itu sedang berkembang. Ada kecenderungan dalam sistem identitas orang kembali pada sistem yang ada. Mereka tertutup pada kecenderungan kritis dan revitalisasi.

Sebetulnya, hal ini menambah keruh situasi. Dalam situasi seperti ini, identitas kolektif menjadi perpanjangan egosentrisme yang tidak realistis. Itu lebih merupakan identitas kepanikan dalam ketidakmampuan mengelola hal baru yang serba tak pasti. Akhirnya orang berlindung pada sesuatu yang pasti. Itu akan menakutkan karena pasti akan kontraproduktif. Muncul kemudian primordialisme yang berlebihan. Kalau di dalam agama itu adalah puritanisme yang menakutkan. Puritanisme dalam arti harfiah, bukan pada kekokohan pada prinsip moral, tetapi juga pada tendensi pemurnian atau pretensi memurnikan ajaran. Itu menakutkan.

Saya tidak mengatakan itu jelek, tetapi ada unsur kontraproduktifnya. Ada unsur mengelakkan tantangan yang sebetulnya riil. Saya kira, kita perlu melihat identitas bukan sebagai sesuatu yang stereotip, baku dan mandek.

”Underground”

Apakah ada harapan di tengah kondisi seperti sekarang?

Saya melihat ada sementara kelompok yang mengalami gerak sentrifugal. Mereka keluar dari kerangkeng sistem dan membuat sistem sendiri. Keluar dari situasi chaotic (kacau), kelabu, dan pesimistis seperti saat ini saya melihat meriapnya gerakan mikro. Sebutlah itu mikro politik dalam bidang kebudayaan dan pendidikan. Orang mencari jalan sendiri, merevitalisasi diri sendiri, dan menggali kemampuan diri. Itu mengharukan.

Inisiatif, perpanjangan dari individualitas itu ternyata tidak selalu jatuh pada primordialisme sempit. Dari mereka ada gairah membentuk gerakan mikro. Misalnya, ada yang peduli pada situasi pendidikan. Mereka membuat gerakan pendidikan alternatif untuk mengimbangi apa yang tak didapat di sekolah. Daripada mengeluh terus.

Di Bandung ada kelompok kecil yang merintis toko buku alternatif. Mereka menjual buku yang mungkin tak pasaran. Mereka punya komunitas tersendiri.

Apakah gerakan underground dari Ujungberung juga masuk dalam wilayah itu?

Itu lebih mengharukan lagi. Bagaimana dari kawasan pinggiran itu tiba-tiba muncul kelompok yang menata diri. Dari sudut itu terlihat kemampuan mengorganisasi diri, melembagakan di dalam band-band.

Mereka tidak main-main. Kiblat dan referensi mereka fantastis. Dari wilayah yang kita kira pinggiran itu mereka punya akses internet ke denyut band rock global. Tadinya saya tak percaya, tetapi ketika akhirnya saya terseret masuk ke wilayah seperti itu saya sungguh kagum karena mutu musikal mereka fantastis. Saya tak pernah bayangkan anak Ujungberung memasuki wilayah yang sophisticate dalam bidang rock.

”Sophisticate?”

Ya, Ivan dari Burger Kill yang meninggal itu bacaannya George Orwell, 1984. Riwayat Ivan ditulis Ivan jadi novel. Mereka masuki wilayah sastra. Itu terobosan dari wilayah pinggiran lewat pola mikro sampai akhirnya memasuki wilayah dunia intelektual dengan cara sendiri.

Yang menarik, setiap komunitas kecil itu punya koneksi dengan komunitas lain sehingga yang namanya pola organisasi dalam rangka jejaring itu betul-betul riil. Kelompok underground itu juga berkaitan dengan distro, penjual pakaian, dan toko buku. Itu menakjubkan.

Apa harapan dari kelompok mikro-politik itu?

Saya tak tahu itu akan bakal jadi apa. Mereka adalah orang-orang yang masuk dalam jalur sentrifugal. Mereka berani menghadapi perubahan situasi dengan nyali dan nalar serta dengan passion yang baru. Mereka menghadapi perubahan tanpa panik, bahkan menyerbu dengan antusias. Ini sesuatu yang menjanjikan.

Mereka bergerak mengandalkan reflektivitas sendiri. Artinya sambil mengamit masa lalu mereka juga mengunyah yang baru, tetapi dengan gaya gue sendiri. Seperti slogan MTV: gue banget.

Mereka dituduh antek kapitalis.


Kalau mereka dibilang budak dunia Barat, ternyata mereka punya jawaban canggih. Mereka tahu apa itu wayang, calung. Bahkan si Kimung itu skripsinya tentang sejarah angklung.

Anda dekat dengan kaum underground?

Saya pernah diundang kelompok underground. Semula saya ragu-ragu. Bagaimanapun pergaulan saya di wilayah intelektual. Saya memang kenal sama mereka, tetapi ketika harus berhadapan dengan—istilah mereka—begundal-begundalnya, saya takut. Saya pernah diundang bicara dengan mereka. Di luar dugaan mereka semua santun. Sedikit saja ada hal sensitif mereka tepuk tangan.

Bagaimana Anda bicara dengan mereka?

Sewaktu saya harus berbicara di depan mereka, saya sempat berpikir, apa mereka mengerti kalau saya ngomong, meski saya sederhanakan. Ternyata mereka mengerti dan sangat apresiatif sehingga citra rock itu kekerasan non-sense. Itu stereotip yang tak benar.

http://http://yudhiapatriana.blogspot.com/
_____________________________________________________________

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Maret 2008

07 Agustus, 2009

SAJAK ORANG KEPANASAN



karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu .....
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan .....
maka kita bukan sekutu

karena kami kucel
dan kamu gemerlapan .....
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu .....
maka kami mencurigaimu

karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan .....
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar .....
maka kami tidak menyukaimu

karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara .....
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan .....
maka kami bilang TIDAK kepadamu

karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana .....
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan .....
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara .....
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

(WS Rendra)

Megatruh Kambuh *)

Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu

PENYAIR besar Ronggowarsito, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.


Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda d
ari “Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa “Kalatida” adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan “Kalabendu” adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya, setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Ternyata urutan za
man “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya pagi ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair Ronggowarsito mengenai “Kalasubo”. Kata Ratu Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ronggowarsito menunjukkan sekali lagi ketazaman dan kepekaan mata batinnya.

Melewati pidato ini saya per
sembahkan sembah sungkan saya yang khidmat kepada penyair besar ronggowarsito.

Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”, “Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi. Dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.

“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara. Tetapi “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup daya cipta bangsa.



DI dalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hokum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.

Dengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang politik ataupun yang dagang, tak bisa menjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa pemerintahan. Itulah sebabnya masyarakat serupa itu sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam lingkungan yang bisa hidup dalam harmoni baik berkat tatanan hukum yang adil, pada akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia yang kuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh V.O.C. Dan juga sukar dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisa ditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923 serta Ruteng 1928. Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam lingkungannya, tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemah karena tidak berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa mengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.

Kohesi rakyat dalam masyarakat adat kuat karena bersifat organis. Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah. Sedangkan kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan terhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan Madura. Gampang ditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah. Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa mengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan “Kalabendu” melanda negara.

Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruh Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan ialah dengan meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu domba dengan para bangsawan di perintahan sehingga dengan melemahnya adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan alam lingkungannya. Selanjutnya penghisapan kekayaan alam bisa lebih bebas dilakukan oleh para penjajah itu.




WS Rendra saat menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang kebudayaaan
dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa 4 Maret 2008.
(Foto Doc. : KOMPAS
- WAWAN H PRABOWO)


DI zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar dilemahkan adalah yang ada di Bali karena hubungannya dengan agama dan pura, dan yang ada di Sumatra Barat karena hubungan dengan syariat dan kitab Allah.

Tata hukum dan tata negara sebagai “Mesin Budaya”, di zaman penjajahan Hindia Belanda menjadi “Mesin Budaya” yang buruk bagi kehidupan bangsa. Karena tata hukum dan tata Negara Hindia Belanda memang diciptakan untuk kepentingan penjajahan.

Maka ketika membangun negara, pemerintah Hindia Belanda juga tidak punya kepentingan untuk memajukan bangsa, melainkan membangun untuk bisa menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modal asing yang bebas pajak, alat berproduksi juga didatangkan dari luar negeri dengan bebas pajak, dan bahan baku juga diimport dengan bebas pajak pula, kemudian pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak berikut tanahnya. Yang kena pajak cuma keuntungannya. Itupun boleh ditransfer keluar negeri. Jadi devisa terbuka! Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia Belanda membangun “Mesin Budaya” penghisapan terhadap daya hidup rakyat dan kekayaan alam lingkungan Indonesia. Semuanya itu di kokohkan dengan “Ordonansi Pajak 1925?.

Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun Hindia Belanda masih terus dilestarikan oleh elit politik kita. “Ordonansi Pajak 1925? hanya dirubah judulnya menjadi “Undang-undang Penanaman Modal Asing”. Sehingga sampai sekarang kita sangat tergantung pada modal asing. Pembentukan modal dalam negeri serta perdagangan antar desa dan antar pulau tidak pernah dibangun secara serius.

Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas sampai melahirkan tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator dan produsir tak nampak ada. Mengkonsumsi teknologi yang dibeli disamakan dengan ambil alih teknologi.

Bagaimana mengembangkan sumber daya manusia tanpa menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya! Tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan juga melengahkan pembentukan industri hulu, seperti penjajah tempo dulu, itu tidak bisa diterima. Sangat menyedihkan bahwa pabrik baja kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanya hanya mendaur ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita di hampir semua bidang: pesawat terbang, mobil, sepeda, obat batuk hitam, obat flu, cabe, kobis, padi, jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua assembling! Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkan mesin-mesin berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat spesialis yang cukup jumlahnya, pemerintah kita, sejak zaman Orde Baru, telah menjual modal alam. Akibatnya yang memperoleh keuntungan besar adalah modal asing
yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenaga spesialis. Alam dan lingkungan rusak karena kita memang tak berdaya menghadapi kedahsyatan kekuatan modal asing.


KETERGANTUNGAN pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional.

Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar asing menasehati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya: importlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela taman dan dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma selam-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakekatnya herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan “kultur” dan berubah menjadi “agrisida” atau ” agriracun”.

Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebun an mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.

Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada import bahan makanan. Maksud
hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta explotasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde Baru yang masih berkelanjutan sampai sekarang adalah salah satu factor “Kalabendu” yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak azazi.

Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu tidak program pemerintah dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.


DARI sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak lembu yang diperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan.

Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab “Pararaton”.

Di jaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di jaman tanam paksa dan kerja paksa, ketika kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk, karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb. Tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik perkebunan; namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dsb untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah” di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota. Akhirnya bencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur. Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.


TATA Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat, dan juga sama-sama menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika, dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.

Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuh an yang lain lagi.

Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan. Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan olah limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan. KUHP, yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.

Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.

Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlaku berkepanjangan dan masuklah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menujukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadi kenyataan. Inilah jaman kacau nilai, jaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul duwur mendem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!


HUKUM, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting segera para ahli hukum membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakan kehidupan berbangsa.

Bahkan menurut DR. Sutanto Supiadi ahli tata negara dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partai yang lebih kuat. Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD’45 yang asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang” .

Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.

Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?

Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”, padahal ini persyaratan Internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan kita, maka kita harus mempunyai “Sea and Coast Guard”. Dunia International tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang. Jadi apa sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau memang ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution”.


DALAM soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercu suar lagi, dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga inteligent kita mempunyai direktorat maritim.

Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, disegenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijasah international. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.

Jadi Van Der Capllen tidak sekedar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia Internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi.

Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijasah internasional untuk syahbandar dan nahkoda, belum juga mendapatkan ijin dari Departement Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotic dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang sableng seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.

Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehal. Dan juga harus sabar tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan ratu adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Wassalam,

RENDRA
Cipayung Jaya, Depok
Hotel Quality, Jogya

________________________________________________________
*) Tulisan ini disampaikan oleh WS Rendra
dalam kuliah umum saat ia dianugerahi Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, hari Selasa 4 Maret 2008.

MANA AKU KENAL RAKYAT ITU

Siapa itu rakyat? Dimana alamat mukim mereka, bagaimana potret
nafkah mereka, tunjukkan konfigurasi kesehatan mereka,
tolong perjelas status mutakhir demografi sesungguhnya.

Karena itu di masa puncak kelaparan saya dengan ringan bisa makan
di pesta perkawinan yang satu porsi tagihan lima puluh ribu
rupiahnya, setara untuk mengisi perut 50 orang miskin
perkotaan dan pedesaan, dengan musik Kopi Dangdut
bising memecah gendang telinga.

Siapa itu rakyat? Kalau tak silap rakyat adalah kumpulan selugu-lugu
wajah, gampang dibariskan, mudah dicatat sebagai
deretan angka, menerima saja dihujani sejuta kata-kata
dengan perangai tak banyak tingkahnya,

Karena itu di waktu satu bangsa ditebas sengsara saya enteng-enteng
saja melahap aging bulat smorgasbord Skandinavia dan
rijstafel HIndia Belanda seporsi seratus rupiahnya,
setara untuk melepaskan pedih lambung sekali makan 100
orang miskin kota dan desa, sementara daun telingaku
di acara ulang tahun itu bagai dipijat-pijat lagu Kukuruku
Amerika Latin yang merdu itu

Siapa itu rakyat? Di mana kawasan geografi mereka, bagaimana lapisan
asli populasi mereka, peragakan patologi pencernaan mereka,
lalu perinci naik-turun tensi rohani orang-orang itu yang sesungguhnya.

Sebagai penimbang rasa betapa saya luar biasa pendusta


Taufiq Ismail