08 Agustus, 2009

Menghilangkan 'Aku' menghadirkan Tuhan


Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.

Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?

Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?

Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).


Apa kaitannya dengan individualisme?

Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya munculkan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.


Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?

Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?

Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak. Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?

Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)? Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri.

Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satuobjek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.

Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kacamata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”

Maksudnya? Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk. Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan.

Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.

Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.

Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri. (Ahmad Samantho [ay_samantho@yahoo.com], In parapemikir@yahoogroups. Com.)

http://yudhiapatriana.blogspot.com/
_______________________________________________________________

Tanggapan & Komentar terhadap Catatan Ahmad Samantho di atas :

Nidlol Masyhud wrote:
Pertanyaan serius untuk para pendukung filsafat perenial aliran wihdatul wujud, ittihad, dan wujud mutlak seperti Pak Bagir ini,serta aliran-aliran seperguruan lainnya yang sama-sama parakonsisten: Ketika aku dihilangkan, apa logikanya sehingga aku itu digantikan oleh “Aku”? Mengapa yang menggantikannya bukan “syetan” atau “tetangga”? Segini dulu.. Salam, Nidlol.
______________________________________________________________
Tuesday, September 16, 2008, 1:33 AM Johnson Derry wrote:
Dear all, Mistikus dan spiritualis tak gampang dibedah oleh filsuf. Yang disebut terakhir akan paham jika ia mengalami pengalaman kedua yang disebut pertama. Salam dan Hormat, Johnson
_______________________________________________________________
Ahmad Samantho wrote:
Akhi Nidhol, Anda belum paham apa yang dipahami ustadz Muhammad Bagir. Apakah setan itu secara hakiki benar-benar “Ada” (Eksis)? Bukankah tiada Yang Ada selain Tuhan Allah. “Kemana pun kamu hadapkan wajahmu, maka yang akan terlihat hanyalah wajah Allah.” (terj. Al Qur’an), “Semua selain-Nya adalah fana, yang baqo (Abadi) hanyalah Wajah Tuhan Rabb-mu Dzul Jalali wal Ikrom…” (Terjm. Al-Qur’an). Kalau Antum belum kenal siapa hakikat diri Antum sendiri, maka Antum tak akan kenal Siapa Tuhanmu (”Man arofa nafsahu fa qad arofa Rabbahu.”). Semua di sisa umur Antum, Antum akan dapat menemukan kembali jalan pulang ke asalmu (dan asal kita semua: Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun).
_______________________________________________________________
Tuesday, September 16, 2008, 9:39 PM Nidlol Masyhud wrote:
Pak Ahmad, Dengan logika itu, yang disebut sebagai Ustadz Muhammad Bagir itu juga tidak benar-benar ada.. Yang disebut milis ‘parapemikir’ itu juga sebenarnya tidak ada.. Moderatornya yang disebut Mas Iman Alexander itu juga tidak ada.. Saya dan Anda juga tidak ada.. Pokoknya semua selain Tuhan itu tidak ada. Sesuatu yang tidak ada, kok bisa ya berkata2.. Sesuatu yang tidak ada, apa gunanya dikenali? Statemen “man ‘arofa nafsahu, ‘arofa rabbahu” dalam logika wihdatul wujud ini, akan otomatis berubah menjadi: “man ‘arofa laa syai’ fa qod arofa rabballaa syai’” (”siapa yang telahmengenal nothing, berarti telah mengenal tuhannya nothing”). Sebuah statemen yang sangat absurd, tidak masuk akal, tidak masuk jiwa, tidak masuk hati, dan tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. BTW, tejemahan yang betul untuk ayat di Al-Baqorah tersebut adalah: “Kemanapun engkau menghadap, maka di situlah kiblat Allah” (versi penafsiran Imam Asy-Syafi’i dll)
atau:
“Kemanapun engkau menghadap, maka di arah itulah wajah Allah” (versi penafsiran Imam Ath-Thabari dll) Sedangkan versi penafsiran yang Bapak sebutkan, saya belum menjumpai imam otoritatifnya.
_____________________________________________________________
Ahmad Samantho wrote:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Akhi Nidhol Mashyud, Ana memahami kenapa Antum masih punya pemahamanseperti itu, yang belum sepaham dengan Ustadz Muhammad Bagir. Karena Antum alumni universitas Al-Azhar Mesir, maka disiplin ilmu keislaman yang Antum kuasai dan pahami mungkin dominan paham fiqhiyahnya atau kalam (teologi), dibanding falsafah atau tasawuf (irfan/islamic mysticism).
Pengertian “Ada” yang saya pakai Antum juga masih salah paham.Baiklah ijinkanlah saya menjelaskannya, semoga Antum mendapat hidayah Allah untuk dapat memahaminya.

Tuhan Allah, menurut para hukama wal arifin (filosof dan para sufi,seperti Ibnu A’rabi, Jalaluddin Rumi, dan Mulla Sadra), adalah Wajibal-Wujud (Wujud Mutlak=“Ada Mutlak” = “Absolute Existence”), Yang keber-ADA-an-Nya, tidak disebabkan oleh ksistensi (ada-ada) yang lain. Dia ‘Ada’ dengan sendirinya, Huwal awwalu waalakhiru, dzahiru wal batinu.

Sedangkan yang selain Allah adalah makhluk ciptaan Allah, yang keberadaannya tidaklah mutlak (mumkin al wujud), karena keberadaannya hanyalah mungkin bisa ada karena disebabkan oleh ‘ADA’ yang Mutlak (Absolute Existence), yaitu Allah SWT. Maka secara hakiki (Haqiqat) yang sebenarnya ADA (EXISTENCE) itu hanyalah Allah SWT saja. Yang lainnya hanya bisa ada atau mungkin ada kalau Tuhan Allah SWT menciptakannya dan mengadakannya. Silahkan kaji ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dan lebih mendalam, dengan menggunakan kacamata (epistemologi dan ontologi) yang lebih besar dan lebih jernih dan fokus ketika menerawang hal-hal yang detil dan lebih complex.

Bahkan keberdaan Antum dengan segala kondisinya saat ini, itupun tak lepas dari Causa Prima: Wajib al Wujud (Allah SWT), dan Antum, sebagaimana saya dan semua keberadaan lainnya, hanyalah tajaliyat (manifestasi dan refleksi/cerminan) dari Wajib al Wujud (Tuhan Allah SWT). Inilah yang dimaksud dengan “Wahdatul Wujud”. Alam semesta, kata ustadz Quraisy Shibab, Ahli tafsir Qur’an, hanyalah merupaka alamat atau tanda-tanda (addres) yang akan menyingkap dan menujukkan Realitas Al-Alim, Tuhan Yang Maha Mengetahui, Maha ber-Ilmu. Antum kan sudah tahu term Alam, Ilmu dan Alamat, masdarnya sama, yang terdiri dari huruf Alif, Lam, Mim.

Inilah pemahaman Tauhidi dari para Hukama wal ‘Arifin, terhadap asas pokok Islam dan asas pokok alam semesta: Wahdatul Wujud / Wihdatul Wujud atau “Ketuhanan Yang Maha Esa” (dalam bahasa Pancasila). konsekuensinya selain daripada Allah, hanyalah merupakan mumkinul wujud (contingent existence/contingent being) yang tergantung keberadaannya hanya pada Allah SWT. Kalau Allah yang berhekendak mengadakannya, maka ia tidak ada. Dari Wujud Yang Wahid / Ahad diciptakan keberadaan makhluk-makhluk dan alam semesta, yang beragam jenis, bentuk dan manifestasinya (pluralitas berasal dari unitas dan akan kembali kepada Yang Esa.

Inilah makna “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Inilah makna “Bhineka Tunggal Ika”.
Realitas yang beraneka ragam (plural) yang tak terhitung jumlah species dan genus (jenisnya), namun semuanya merefleksikan suatu REALITAS TUNGGAL (Wahdah al-Wujud): yaitu Allah SWT.
Sementara sampai sini dulu diskusinya, insya-Allah, kalau Antum berkenan dan Allah SWT mengijinkan, kita lanjutkan diskusi dan proses pembelajaran kita ya Akhina, yang sama- sama merindukan Tuhan Allah.

Wallahu ‘Alam bi Shawab, Akhuka al-faqir fillah: Ahmad Samantho

_____________________________________________________________
Wednesday, September 17, 2008 9:12 PM
Pak Ahmad yth,
Saya menghargai niat, usaha, dan semangat Antum untuk membela aqidah dan keyakinan yang memang antum anut.. apalagi Antum juga belum melihat ketidakcocokannya dengan akal sehat dan ajaran agama. Tapi marilah kita telaah masalah ini secara lebih jernih dan terarah, serta detail dan obyektif. saya melihat, dalam komentar di bawah ini, Antum mencampurkan antara dua hal yang sama sekali berbeda.

Dalam paparan di bawah, Antum menmbawakan konsep dualitas ‘wajibul wujud’ (entitas niscaya) dan ‘mumkinul wujud’ (entitas kontigen) serta ketergantungan mumkinul wujud terhadap wajibul wujud. Saya heran, ini sama sekali bukan konsep khas aliran wahdatul wujud. Ini justru adalah konsepnya para teolog mutakallimin dan para filsuf paripatetik. Ini adalah konsepnya Mu’tazilah, Jahmiyyah, Kullabiyyah, Asy’ariyyah, Karramiyyah, dan Salimiyyah. Serta (meskipn dalam format yang berbeda) juga merupakan konsepsinya Al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Abhury, dan Al-Urmuwy. Jadi sama sekali bukan konsep khas para penganjur wahdatul wujud dan pentheisme.

Antum juga perlu membedakan antara ‘wajibul wujud’ dengan ‘al-wujud al-mutlak’. Yang pertama berarti ‘entitas niscaya’ yag ada dengan sendirinya. Sedangkan yang kedua berarti ‘keberadaan’ itu sendiri yang tidak mengandung atribut apapun selain atribut-atribut negasional dan atribut-atribut relasional. Baik Ibnu Sina cs maupun Ibu Arobi cs, Tuhan itu “al-wujud al-mutlak”. Tapi bagi Ibnu Sina cs, Tuhan itu wujud mutlak yang “bisyarthil ithlaq” (tak terspesifikasi). Sedangkan bagi Ibnu Arobi cs, Tuhan itu mujud mutlak yang “bighairi syarthil ithlak” (menspesifikasi). Bagi Ibnu Aroby, Spesifikai wujud mutlak ini merata pada semua entitas di alam (baik yang wajibul wujyud maupun yang mumkinul wujud), sehingga konsepnya pun disebut “al-ittihad al-’aam”. Sementara bagi Husein Al-Hallaj, spesifikasi ini terjadi secara personal pada pribadi-pribadi tertentu (termasuk dirinya), sehigga konsepnya pun disebut “al-huluul al-khaash”.

Jadi pagi aliran Wahdatul Wujud, Tuhan itu ‘properti’, dan bukan ‘entitas’. Tuhan itu bagi mereka adalah ‘wujud’ dan bukannya ‘maujud’. Lalu lebih dari itu, Ibnu Arobi juga menganggap bahwa entitas-entitas ini pada hakekatnya satu. Sehingga baginya, Nabi Ibrahim bukan bermimpi menyembelih putra beliau, Ismail (alaihimassalam), akan tetapi menyembelih dirinya sendiri. Dan baginya, Nabi Adam (alaihissalam) itu juga tidak menikahi Hawa yang merupakan orang lai, melainkan menikahi dirinya sendiri. Baginya, Fir’aun (la’natullaahi ‘alaih) itu bukan orang kafir, tapi orang mukmin yang sudah mencapai derajat hakekat.. sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Musa (alaihissalam). Inilah konsepsi-konsepsi sejati wahdatul wujud, sebagaimana yang jelas tertera dalam buku-buku induk para penanjurnya, semisal bukunya Ibnu Arobi yang disebutnya ‘Fushushul Hikam’ dan bukunya Sahruwardi yang disebutnya ‘Hikmatul Isyraq’..

Sehingga, dalam wahdatul wujud, tidak ada lagi dualitas “hamba” dan “tuhan”, apalagi “muslim” dan “kafir”. maka tidak heran, kalau mengawini keledai adalah sepadan dengan shalat di mushalla. Dalam konsepsi sophis ini, tidak ada lagi jeda antara ‘kausa’ dan ‘efek’, apalagi antara ‘penurun hukum’ dan ‘pelaksana hukum’.

Apalagi kalau yang kita bincang adalah konsepsi wahdatul wujud ekstrim ala At-Tilmisani dan Ibnu Sab’in cs. Wah, malah lebih gak karu2an..

Demikian. Kalau poin-poin ini jelas dan bisa dicerna, silakan dikomentari.. dan kita akan lanjutkan pada beberapa poin berikutnya.

Salam hangat,
Nidhol Ms.


_______________________________________________
*)Bersambung dimailing list parapemikir@yahoogroups.com
http://yudhiapatriana.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar